Tuesday, March 27, 2007

Resolusi untuk Iran

Sebenarnya bukan pengalaman pertama bagi Pemerintah Indonesia untuk balik kanan dan berubah sikap dalam waktu singkat mengenai nuklir Iran. Tahun lalu, setelah serangkaian pertemuan yang amat bersahabat antara pucuk-pucuk pimpinan negara kita dan Iran, Pemerintah Indonesia secara mendadak bersikap abstain pada sidang dewan gubernur Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Terasa mendadak, karena sampai hari-hari terakhir menjelang sidang, pemerintah menyatakan dukungan kepada nuklir Iran dengan keyakinan akan tujuan damai proyek nuklir negara tersebut.

Kali ini, perubahan sikap lebih dramatis. Indonesia yang terpilih menjadi anggota DK PBB atas sokongan negara-negara Asia dan Islam, termasuk Iran, mendukung sebuah resolusi atas pengembangan nuklir yang Indonesia yakini bukan untuk kepentingan perang. Opsi menolak dan abstain tak ada lagi. Alasan pemerintah, jika menolak atau abstain, maka Indonesia takkan bisa memasukkan pandangan-pandangan ke dalam resolusi.

Pandangan itu, pertama adalah mendukung pengembangan nuklir untuk kepentingan damai, dan kedua, membebaskan kawasan Timur Tengah dari senjata nuklir. Pandangan pertama kontradiktif dengan keyakinan Indonesia selama ini bahwa nuklir Iran memang untuk tujuan damai. Pandangan kedua menjadi hampa karena seluruh dunia tahu selama ini Israel adalah pemilik senjata nuklir --yang diakui terang-terangan oleh perdana menterinya pada tahun lalu-- dan tak pernah ada satu resolusi pun untuk nuklir negara itu.

Jadi, alasan yang tampak lebih masuk akal dari perubahan sikap itu adalah kontak tiga kali Pemerintah RI dan AS. Pertama, telepon langsung Presiden George W Bush kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kedua, telepon Menlu AS Condoleezza Rice kepada Menlu Hassan Wirajuda. Ketiga, pertemuan Rice dengan Wirajuda di New York. Semua terjadi hanya dalam beberapa hari pada pekan lalu.

Kita pantas menyebut kesepakatan terhadap Resolusi 1747 itu sebagai perubahan sikap karena di dalam negeri pemerintah selalu berusaha menunjukkan dukungan dan persahabatan kepada Iran. Kita mungkin bisa berdebat panjang soal sikap itu, apakah benar-benar tulus atau sekadar konsumsi politik dalam negeri, namun serangkaian kontak telah membantu pemerintah menaikkan citra: Kunjungan resmi Ahmadinejad ke Jakarta pada 2006, kunjungan Menlu Iran pada Februari 2007, kunjungan ketua parlemen Iran pada Februari 2007, kunjungan ketua MA Iran pada Maret 2007, serta hubungan telepon Presiden Yudhoyono kepada Ahmadinejad dan Presiden Afsel, Tabo Mbeki, yang sependapat soal nuklir Iran pada pekan lalu.

Melihat catatan itu, ada kesan bahwa cita-cita kemandirian politik luar negeri, sebagaimana disampaikan Presiden melalui ''pidato awal tahun'' pada 31 Januari, telah berjalan. Ada kesan pula bahwa janji Indonesia kepada negara-negara pendukung saat voting keanggotaan DK PBB tahun lalu telah dilunasi. Kini, kita bisa menilai sendiri.

Dukungan terhadap Resolusi 1747 berlawanan dengan pendapat pemerintah atas Resolusi 1437 Desember 2006 --saat Indonesia belum menjadi anggota DK PBB. Kita yakin sanksi terhadap Iran tidak akan menyelesaikan masalah. Dan, kita tahu hanya sehari setelah sanksi pertama jatuh, Iran mengaktifkan 3.000 mesin pengaya uraniumnya di Natanz, disusul 54 ribu mesin beberapa pekan kemudian. Iran juga langsung memutus hubungan dengan IAEA, lembaga yang semestinya berperan penting mengawasi dan memastikan tujuan damai nuklir Iran. Mendengar reaksi Iran atas Resolusi 1747, kita khawatir situasi kini lebih buruk lagi.

No comments:

Kamu adalah pengunjung ke: