Wednesday, March 7, 2007

Mari Kita Coba Belajar Dari Jepang

It's about Japanese...
Andai mereka seperti kita.. eh.. andai kita seperti mereka...
hiks.. hiks.
============ ========= ========= =====

Tulisan ini tidak bertutur tentang legenda Bangsa Samurai dahulu kala;
namun berkisah tentang Jepang saat ini. Dongeng di sini berarti sesuatu
yang mengherankan bila disandingkan dengan kondisi keseharian di tanah
air. Meski Jepang bukanlah negeri dongeng yang sempurna, ada nilai-nilai
kebaikan universal terealisir yang menarik untuk disimak dan
diaplikasikan di tanah air tercinta. Tulisan ini merupakan fragmentasi
keseharian saya, istri, dan beberapa kawan dekat kami di Jepang.

Kantor pemerintahan dan pelayanan publik

Anda pernah melihat sekelompok semut? Nah, begitulah kira-kira situasi
kantor pemerintahan daerah di Jepang. Tidak ada "semut" yang diam
termangu, apalagi membaca koran; seluruh karyawan kantor senantiasa
bergerak, dari saat bel mulai kerja hingga pulang larut malam. Tak habis
pikir, saya tatap dalam-dalam "semut-semut" yang sedang bekerja
tersebut; kadang kala saya curi pandang: jangan-jangan mereka sedang
ber-internet ria seperti kebiasaan saya di kampus. Ingin saya mengetahui
makanan apa gerangan yang dikonsumsi para pegawai itu sehingga mereka
sanggup berjam-jam duduk, berkonsentrasi, dan menatap monitor yang
bentuknya tidak berubah tersebut. Tata ruang kantor khas Jepang: mulai
pimpinan hingga staf teknis duduk pada satu ruangan yang sama - tanpa
sekat; semua bisa melihat bahwa semuanya bekerja. Satu orang membaca
koran, pasti akan ketahuan. Aksi yang bagi saya dramatis ini masih
ditambah lagi dengan aksi lari-lari dari pimpinan ataupun staf dalam
melayani masyarakat. Ya, mereka berlari dalam arti yang sesungguhnya dan
ekspresi pelayanan yang sama seriusnya. Wajah mereka akan menatap anda
dalam-dalam dengan pola serius utuh diselingi dengan senyuman. Saya
hampir tak percaya dengan perkataan kawan saya yang mempelajari sistem
pemerintahan Jepang, bahwa gaji mereka - para "semut" tersebut - tidak
bisa dikatakan berlebihan. Sesuai dengan standard upah di Jepang. Yang
saya baca di internet, mereka memiliki kebanggaan berprofesi sebagai
abdi negara; kebanggaan yang menutupi penghasilan yang tidak berbeda
dengan profesi yang lain.

Menyandang status mahasiswa, saya mendapatkan banyak kemudahan dan
fasilitas dari Pemerintah Jepang. Untuk mengurus berbagai keringanan
tersebut, saya harus mendatangi kantor kecamatan (kuyakusho) atau
walikota (shiyakusho) setempat. Beberapa dokumen harus diisi; khas
Jepang: teliti namun tidak menyulitkan. Dalam berbagai kesempatan saya
harus mengisi kolom semacam: apakah anda melakukan pekerjaan sambilan
(arubaito = part time job), apakah anak anda tinggal bersama anda (untuk
mengurus tunjangan anak), dsb. Dan dalam banyak hal,
pertanyaan-pertanya an tersebut cukup dijawab dengan lisan: ya atau
tidak. Tidak perlu surat-surat pembuktian dari "RT, RW, Kelurahan" dsb.
Saya percaya bahwa sistem yang baik selalu mensyaratkan kejujuran.
Sistem berlandaskan kejujuran akan cepat maju dan meningkat, sekaligus
sangat efisien.

Mengetahui bahwasanya saya adalah orang asing yang kurang lancar
berbahasa Jepang, saya mendapatkan "fasilitas" diantar kesana-kemari
pada saat mengurus berbagai dokumen untuk mengajukan keringanan biaya
melahirkan istri saya. Hal ini terjadi beberapa kali. Seorang senior
saya pernah mengatakan, begitu anda masuk ke kantor pemerintahan di
Jepang, maka semua urusan akan ada (dan harus ada) solusinya. Lain hari
saya membaca prinsip "the biggest (service) for the small" yang kurang
lebih bermakna pelayanan dan perhatian yang maksimal untuk orang-orang
yang kurang beruntung.

Pameo "kalau ada yang sulit, mengapa dipermudah" tidak saya jumpai di
Jepang. Pada suatu urusan di kantor walikota (shiyakusho) saya diminta
untuk menyerahkan surat pajak penghasilan. Saya mengatakan bahwa saya
sudah pernah, di masa yang lalu, menyerahkan surat yang sama ke bagian
lain di kantor tersebut. Saya sudah siap dan pasrah seandainya mereka
menjawab bahwa saya harus mengurus kembali surat tersebut ke kantor
kecamatan sebelum saya pindah ke kota ini. Agak tertegun sekaligus lega
mendapat jawaban bahwa staf divisi tersebut akan mendatangi divisi lain
tempat saya pernah menyerahkan dokumen pajak saya sekian bulan yang
lalu. Dia akan mengkopinya dari sana. Ambil jalan yang mudah, namun
tetap mengedepankan ketelitian. Itulah yang saya jumpai di Jepang.

Berstatus mahasiswa yang berkeluarga (baca: harus berhemat), kami sempat
terkejut melihat tagihan listrik bulanan yang melonjak hingga 10 kali
lipat. Setelah melakukan pengusutan sederhana, tahulah kami bahwa ada
kesalahan pencatatan meter listrik oleh petugas - sebuah kesalahan yang
tidak umum di negeri ini. Segera saat itu pula saya telpon perusaah
listrik wilayah Kansai untuk mengkonfirmasikan kesalahan tersebut.
Berkali-kali kata sumimasen (yang bisa pula berarti maaf) keluar dari
mulut operator telepon. Saya menganggapnya sudah selesai, karena
operator berjanji untuk segera melakukan tindak lanjut. Belum berapa
lama meletakkan tas di laboratorium pagi itu, istri menelpon dari rumah
perihal kedatangan petugas listrik untuk meminta maaf dan menarik slip
tagihan. Setibanya di rumah malam harinya, baru tahulah saya bahwa yang
datang bukanlah sekelas petugas lapangan (dari kartu nama yang
ditinggalkannya) dan tahulah saya bahwa dia tidak sekedar meminta maaf,
karena bingkisan berisi sabun dan shampo merk cukup terkenal menyertai
kartu nama petugas tersebut. Saya hanya berharap, waktu itu, bahwa
petugas pencatat yang keliru tidak akan bunuh diri. Karena kekeliruan
dalam bekerja, secara umum, menyangkut kehormatan di negara ini.

Saya mengetahui dari sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja di Jepang
akan sebuah paradigma "Bila anda datang ke kantor pada pukul 09.00 (jam
resmi masuk kantor di Jepang) dan pulang pada pukul 17.00 (jam resmi
pulang kantor di Jepang), maka atasan dan kawan-kawan anda akan
mengatakan bahwa anda tidak memiliki niat bekerja". Saya membuktikan
pameo tersebut, karena setiap hari saya bersepeda melintasi kantor
walikota (shiyakusho) . Sebagian besar lampu di kantor itu masih menyala
hingga pukul 20.00. Dan beberapa kali saya jumpai staf kantor tersebut
memasuki stasiun kereta, juga sekitar pukul 20.00. Hal ini berarti,
mereka semua memiliki niat bekerja - versi Jepang.

Pasar, pertunjukan kejujuran dan perhatian

Suatu kali pernah kami membeli sebungkus buah-buahan dengan bandrol
murah; favorit bagi kalangan mahasiswa asing seperti saya. Saya sudah
mengetahui bahwa ada sedikit cacat (gores atau bekas benturan) pada
permukaan beberapa buah-buahan - sesuai dengan harga murah yang
disematkan padanya. Pada saat kami hendak membayar buah tersebut,
penjual buah buru-buru menerangkan dan menunjuk-nunjuk kondisi sedikit
cacat pada beberapa buah-buahan tersebut, dan kembali memastikan niat
kami membelinya. Sembari tersenyum, tentu saja kami mengatakan "daijobu"
(tidak apa-apa), karena kami sudah melihatnya dari awal. Beberapa kawan
kami mengiyakan pada saat kami menceritakan kejadian yang bagi kami
cukup mengherankan ini; ini berarti sikap jujur tersebut tidak
dimonopoli oleh satu-dua pedagang. Mereka mengerti betul bahwa kejujuran
adalah prasyarat utama keberhasilan dalam berdagang. Tidak perlu meraup
untung sesaat dalam jumlah besar, bila nantinya akan kehilangan
pelanggan.

Hingga hari ini, pada saat bertransaksi di kasir, kami selalu menerima
uang kembalian dalam jumlah yang utuh - sesuai dengan yang tertera pada
slip pembayaran. Tidak kurang, meski hanya satu yen (mata uang terkecil
di Jepang). Tidak ada "pemaksaan" untuk menerima permen sebagai
pengganti nominal tertentu. Selain kagum dengan praktek berdagang yang
baik ini, kami sekaligus kagum dengan sistem perbankan Jepang yang mampu
menyediakan uang recehan untuk pedagang dan vending machine (mesin
penjual otomatis) di se-antero Jepang. Meski bagi sebagian kalangan,
uang kembalian terlihat "sepele"; hal ini bisa menyebabkan
ketidakikhlasan pembeli terhadap transaksi jual-beli.

Istri saya selalu berbelanja bersama anak-anak; dan karena "keriangan"
anak-anak, pada beberapa kasus, pak telur atau buah-buahan bisa meluncur
ke lantai. Dua kali terjadi beberapa telur dalam satu pak pecah akibat
keriangan anak-anak, dan satu kali melibatkan buah yang mudah penyok.
Pada semua kejadian tersebut, petugas supermarket melihat dan segera
mengganti barang-barang tersebut dengan yang baru. Padahal kami datang
dengan wajah lelah dan pasrah untuk membayarnya, karena kami menyadari
benar bahwa ini adalah kelalaian kami. Bahkan pada satu kasus, barang
tersebut sudah dibayar istri saya. Pada saat kami menerangkan bahwa ini
semua ketidaksengajaan anak-anak kami, dengan ramah petugas supermarket
menyahut "daijobu yo" (tidak apa-apa).

Pada saat berkesempatan mengunjungi sebuah negara lain di Asia untuk
sebuah konferensi, saya baru menyadari keramahtamahan petugas
supermarket di Jepang. Di Jepang, bila anda menanyakan keberadaan sebuah
barang, maka petugas tidak sekedar memberi arah petunjuk pada anda,
namun dia akan mengantarkan anda hingga berjumpa dengan barang yang
dicari; dan petugas baru akan meninggalkan anda setelah memastikan bahwa
everything is ok. Hal ini tidak berarti bahwa jumlah petugas supermarket
di Jepang demikian
banyaknya hingga mereka berkesempatan jalan-jalan di dalam supermarket
yang sangat besar; justru sebaliknya, jumlah petugas selalu sesuai benar
dengan kebutuhan, dan mereka selalu bergerak - seperti semut. Di sebuah
toko elektronik, seorang petugas yang menjelaskan spesifikasi komputer
yang anda tanyai adalah juga kasir tempat anda membayar serta petugas
yang melakukan packing akhir terhadap komputer yang anda beli.

Polisi, sistem yang bekerja dan melindungi

Kami sempat terheran-heran manakala pertama menginjakkan kaki di Kobe
demi melihat postur polisi dan kendaraannya yang tidak lebih gagah
dibandingkan dengan petugas pos di Indonesia. Benar, ini bukan metafora.
Memang ada pula polisi di tingkat prefecture (propinsi) yang gagah
mengendarai motor besar bak Chip - ini jumlahnya sedikit. Namun polisi
kota besar seukuran Kobe - salah satu kota metropolis di Jepang,
posturnya tidak segagah polisi yang sering saya jumpai di jalan-jalan
Republik. Anda tentu menganggap saya sedang bergurau bila saya
mengatakan bahwa motor polisi di Kota Kobe dan Ashiya serupa benar
dengan bebek terbang tahun 70-an. Saya tidak bergurau.

Ini Kobe dan Ashiya, dua kota di negara macan ekonomi dunia. Bebek
terbang tersebut dilengkapi dengan boks besi di bagian belakang - mirip
dengan petugas pengantaran barang kiriman. Namun, sekali bapak atau mbak
polisi ini menghentikan kendaraan, tidak pernah saya melihat ada
diantaranya yang berusaha lari. Tidak ada gunanya lari di negara dengan
sistem network yang sangat baik ini. Ke mana pun anda lari, kesitu pula
polisi dengan uniform yang serupa akan menghampiri anda. Pelan namun
pasti. Saya akhirnya mafhum, bahwa polisi di sini lebih pada fungsi
kontrol dan pengambilan keputusan (decision maker) - kedua fungsi ini
memang tidak mensyaratkan badan yang harus berotot dan berisi. Tak heran
saya melihat mas-mas polisi muda berkacamata melakukan patroli dengan
bebek terbangnya. Mereka hanya perlu melihat, mengawasi, dan mengambil
keputusan. Selebihnya, sistem yang akan bekerja.

Lingkungan hidup dan transportasi

Jepang bukanlah negara dengan penduduk kecil. Populasi negara ini hampir
separuh populasi Republik tercinta. Di sisi lain, wilayah negara ini
didominasi oleh pegunungan yang sulit untuk dihuni. Pegunungan yang
tetap hijau, membuat saya menduga bahwa Pemerintah Jepang memang sengaja
membiarkan kehijauan melekat pada daerah pegunungan tersebut. Tokyo
adalah kota besar dengan jumlah penduduk terbesar se-dunia, mengalahkan
New York dan berbagai kota besar di mancanegara. Besarnya penduduk,
sempitnya dataran yang bisa dihuni, dan tingginya tingkat ekonomi
mensiratkan dua hal:
kerapian dan kebersihan.

Anda akan sangat kesulitan menjumpai sampah anthrophogenik (akibat
aktivitas manusia) di jalan-jalan di Jepang. Kemana mata anda memandang,
maka kesitulah anda akan tertumbuk pada situasi yang bersih dan rapi.
Orang Jepang meletakkan sepatu/alas kaki dengan tangan, bukan dengan
kaki ataupun dilempar begitu saja. Mereka menyadari bahwa ruang (space)
yang mereka miliki tidak luas, sehingga semuanya harus rapi dan tertata.
Sepatu dan alas kaki diletakkan dengan posisi yang siap untuk digunakan
pada saat kita keluar ruangan. Hal ini sesuai dengan karakteristik
mereka yang senantiasa well-prepared dalam berbagai hal. Kadang saya
menjumpai kondisi yang ekstrim; seorang pasien yang sedang menunggu
giliran di depan saya berbicara dan menggerakkan anggota tubuhnya
sendiri. Saya tahu bahwa ruang periksa di hadapan kami bukan ditempati
psikiater ataupun neurophysicist. Belakangan saya tahu dari kawan yang
belajar di bidang kedokteran, boleh jadi pasien tersebut sedang
mempersiapkan dialog dengan dokternya.

Transportasi di Jepang didominasi oleh angkutan publik, baik bus, kereta
(lokal, ekspres, super ekspres), shinkansen, dan pesawat terbang (antar
wilayah). Baiknya sistem dan sarana transportasi di Jepang membuat anda
tidak perlu berkeinginan untuk memiliki kendaraan sendiri - kecuali bila
anda tinggal di country-side yang tidak memiliki banyak alat
transportasi umum. Kereta dan shinkansen (kereta antar kota super
ekspres) mendominasi moda transportasi di Jepang. Sebuah sumber yang
saya ingat menyebutkan bahwa kepadatan lalu lintas kereta di Jepang
adalah yang tertinggi di dunia. Di Jepang, kereta dan shinkansen
digerakkan menggunakan listrik. Hal ini tidak menyebabkan polusi udara
di perkotaan, karena listrik diproduksi terpusat. PLTN sebagai salah
satu sumber pemasok utama energi listrik di Jepang, tentu saja, juga
berkontribusi pada rendahnya polusi udara karena, praktis, PLTN tidak
mengemisikan CO2.

Nasehat "tengoklah duru kiri dan kanan sebelum menyeberang jalan"
mungkin tidak sangat penting untuk diterapkan bila anda menyeberang di
tempat yang telah disediakan di Jepang. Anda cukup menunggu lambang
pejalan kaki berubah warna menjadi hijau; insya Allah anda akan selamat
sampai ke seberang - tanpa perlu menengok kiri dan kanan. Saat
berkesempatan mengunjungi kota besar lain di Asia, kebiasaan menyeberang
ala Jepang sempat membuat saya hampir terserempet motor; lampu hijau
saja ternyata tidaklah cukup di kota ini.

Kesehatan dan rumah sakit

Jepang mengerti benar bahwa orang-orang yang sehatlah yang lebih mampu
memajukan bangsa dan negaranya. Mahasiswa di tempat saya belajar, Kobe
University, wajib melakukan pemeriksaan kesehatan (gratis) setahun
sekali. Fasilitas kesehatan di Jepang mendapat perhatian yang tinggi
dari pemerintah. Sebagai orang asing, mahasiswa pula, kami dianjurkan
untuk mengikuti program asuransi nasional. Dengan mengikuti program ini,
kami hanya perlu membayar 30% dari biaya berobat. Dari yang 30%
tersebut, sebagai mahasiswa asing, saya akan mendapatkan tambahan
potongan sebesar 80% (yang belakangan turun menjadi 35%) dari Kementrian
Pendidikan Jepang. Berstatuskan mahasiswa, kami membayar premi asuransi
per-bulan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan orang kebanyakan.
Dari laporan rutin yang dikirimkan oleh pihak asuransi kepada kami,
tahulah saya bahwa ongkos berobat kami selalu (jauh) lebih besar dari
premi asuransi yang saya bayarkan setiap bulannya. Berbekal kartu
asuransi nasional, datang ke rumah sakit ataupun ke klinik swasta bukan
lagi menjadi hal yang menakutkan bagi keluarga kami di Jepang.

Jangan membayangkan bahwa pihak rumah sakit atau klinik swasta akan
memberikan perlakuan yang berbeda kepada para pemegang kartu asuransi -
apalagi untuk kami yang mendapatkan kartu tambahan khusus keluarga tidak
mampu. Para dokter dan perawat melayani dengan keramahan yang tidak
berkurang serta prosedur yang sama sederhananya. Keramahan di sini
berarti keramahan yang sebenar-benarnya.

Baik anda kaya ataupun miskin, proses masuk dan keluar dari rumah sakit
di Jepang adalah sama mudahnya. Saat istri melahirkan di rumah sakit
pemerintah di Ashiya, saya disodori formulir yang berisi opsi
pembayaran: tunai, lewat bank, dll. Tidak menjadi sebuah keharusan bagi
seorang pasien untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran di hari dia
harus keluar dari rumah sakit. Alhamdulillah kami mendapatkan keringanan
biaya melahirkan dari Pemerintah Kota Ashiya; selain bisa melenggang
dari rumah sakit tanpa bayar pada hari itu, tagihan dari Kantor Walikota
(setelah dipotong subsidi dari pemerintah) juga baru datang dua bulan
kemudian. Saling percaya adalah kuncinya.

Yuli Setyo Indartono
Mahasiswa S3 di Graduate School of Science and Technology, Kobe
University, Japan.
Peneliti Istecs dan Ketua Teknologi Energi INDENI www.indeni.org.
E-mail: indartono@yahoo. com

No comments:

Kamu adalah pengunjung ke: