Tuesday, March 27, 2007

Refleksi Maulid Nabi

Irham Sya'roni

Kepala Pondok Pesantren Darul Hikmah Yogyakarta;

Setiap Rabi'ul Awwal datang menyapa, masyarakat Muslim Indonesia (bahkan juga dunia) mulai sibuk menyusun acara untuk mengenang kelahiran Nabi Agung Muhammad SAW yang kerap disebut Maulid Nabi. Maulid Nabi memang bukan hari besar (raya) Islam jika ditilik dari perspektif Alquran maupun hadis. Karena, hanya Idul Fitri dan Idul Adha sebagai hari rayanya.

Nabi sendiri tidak pernah menganjurkan hari lahirnya diperingati. Namun, juga tidak ada larangan secara sharih (eksplisit). Oleh karenanya, tak mengejutkan bila pro-kontra menyangkut hukum memperingatinya terus berlanjut meski tidak sederas di era 70-an.

Pesan profetik
Tentang kelahiran Muhammad SAW, sejarawan tetap berselisih pendapat. Husein Haikal, dalam 'Sejarah Hidup Muhammad', mengupas dengan tuntas perbedaan itu. Terkait tahun kelahirannya, sebagian besar mengatakan Muhammad lahir pada Tahun Gajah, yaitu peristiwa agresi Raja Abrahah bersama pasukan bergajahnya untuk menghancurkan Ka'bah. Yang lain berpendapat, beberapa hari atau beberapa bulan atau juga beberapa tahun sesudah Peristiwa Gajah.

Mengenai bulan kelahirannya, sebagian besar mengatakan ia dilahirkan bulan Rabi'ul Awal. Ada pula yang berpendapat bulan Muharam, Safar, Rajab, atau mungkin Ramadhan. Mengenai tanggalnya, satu pendapat mengatakan malam kedua Rabi'ul Awal. Pendapat lain menyebut malam kedelapan, kesembilan, atau keduabelas.

Dari sekian banyak pendapat, 12 Rabi'ul Awal Tahun Gajah (20 April 571 Masehi) adalah yang paling umum dan terkenal. Oleh karenanya, telah menjadi hal yang jamak, setiap memasuki Rabi'ul Awal masyarakat Muslim seakan di-up date kembali untuk mengenang dan membumikan pesan-pesan profetiknya melalui peringatan Maulid Nabi.

Yang lebih penting untuk diungkap sebagai refleksi dalam Maulid Nabi adalah menelisik kembali pesan-pesan profetik yang dikandungnya. Di antara yang relevan untuk diungkap adalah: egalitarianisme, kebebasan, dan keadilan. Ketiga prinsip tersebut telah ditanamkan secara kuat oleh Nabi kala itu. Karenanya, sosiolog Robert N Bellah secara jujur mengatakan bahwa sistem politik yang digariskan Muhammad di Madinah dan dikembangkan khalifah-khalifah awal, khususnya Umar ibn Khattab, adalah sesuatu yang terlampau maju bagi organisasi politik Arab pada masa itu.

Perenungan kita, mengapa Indonesia tak bisa semudah Nabi dalam memajukan bangsa? Tak lain karena nilai-nilai profetik yang dibawa Nabi tak lagi dijalankan. Semua tinggal slogan dan retorika. Ironis, di negeri yang mengklaim sebagai negara demokratis ini, nilai-nilai tersebut tak terwujudkan dengan baik.

Buktinya, tembok besar menjulang tinggi memisahkan antara penguasa dan rakyat, antara jelata dan berpangkat, serta antara kaum papa dan konglomerat. Amanat Pancasila, terutama sila kelima, pun tidak terjalankan secara sempurna. Ketidakadilan masih mudah kita dapati di sana-sini. Kepongahan kelompok atas dan penindasan (kendati terselubung) terhadap kelompok bawah terus berlanjut tanpa menemukan titik akhir.

Ironis sekali, jika kita menjadikan agama hanya sebagai simbol atau identitas administratif dan alat berkamuflase dari borok diri. Padahal, esensi semua agama adalah terletak dalam nilai-nilai kebaikan universal itu. Karenanya, dipandang perlu bahkan mendesak untuk menghidupkan kembali pesan-pesan tersebut dalam konteks kekinian dan kedisinian.

Antara ritual dan seremonial
Setiap daerah tentu memiliki cara tersendiri untuk merayakan Maulid Nabi. Di Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta, perayaan Maulid dikenal dengan istilah sekaten yang dicomot dari kata syahadatain, yaitu pengakuan tiada tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai utusan-Nya. Kemeriahan serupa juga bisa kita dapati di daerah-daerah bahkan juga negara-negara lain.

Dalam rangkaian acara itu, baik yang akbar maupun biasa-biasa saja, ada satu sesi yang tidak pernah tertinggal bahkan seolah menjadi syarat penting, yaitu pembacaan Kitab Al Barzanji karya Syekh Ja'far Al Barzanji bin Husin bin Abdul Karim (1690-1766 M). Lidah lokal menyebutnya berjanji. Atau kitab-kitab sejenis, semisal Simth Al-Durar, Al Diba'iy, Syaraful Anam, Al Habsyi, dan Al Burdah.

Itu semua adalah karya sastra yang bertutur tentang riwayat kehidupan Muhammad yang disuguhkan dalam bentuk natsar (prosa) dan nazham (puisi). Isinya mencakup silsilah Muhammad, kehidupannya dari masa kanak-kanak hingga menjadi rasul, dan sifat-sifat mulia yang dimilikinya, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan manusia. Pada perkembangan berikutnya, pembacaan Barzanji dilakukan di berbagai kesempatan semisal saat kelahiran bayi, mencukur rambut bayi, pemberian nama (tasmiyah) dan akikah, khitanan, pernikahan, dan upacara lainnya, sebagai sebuah pengharapan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik (tafaulan).

Sejatinya, dalam Maulid kita tidak sedang membuat sebuah upacara ritual, tetapi perenungan dan pengisian batin agar tokoh sejarah tidak menjadi fiktif dalam diri kita. Tidak hanya dalam bentuk cerita-cerita yang mengagumkan, tapi juga semangat keteladanan dalam menjalani realitas kehidupan.

Dengan pertimbangan ini pula Shalahuddin Al-Ayyubi, the great warrior of the Crusade (panglima besar Perang Salib), mengampanyekan perlunya memperingati Maulid Nabi. Karena saat itu (1099 M) Yerusalem dapat direbut laskar salib dan menyulap Masjid Al Aqsha menjadi gereja. Terlebih lagi pasukan Islam juga mengalami defisit semangat perjuangan dan persaudaraan.

Kondisi ini memaksa Shalahuddin untuk menghidupkan kembali semangat juang dan persatuan mereka dengan cara mempertebal kecintaan kepada Nabi Muhammad. Maka digelarlah peringatan Maulid Nabi. Asas manfaat sebagaimana dihasilkan oleh Shalahuddin inilah yang menjadikan Maulid diselenggarakan secara berkelanjutan.

Sependapat dengan Syafi'i Mufid (Dialog Jumat, 9-3-2007), Maulid Nabi sebagai bagian dari Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) merupakan upacara seremonial (bukan ritual) yang berkaitan dengan kesejarahan dan memiliki fungsi integratif. Sebagai seremoni, ia mewujud dalam beragam bentuk tergantung kreativitas atau inovasi masyarakat. Karenanya, tak mengejutkan, dalam pelaksanaannya banyak dijejali dengan aneka simbol.

Sayangnya, kebanyakan masyarakat kita tidak lagi mampu menangkap simbol-simbol itu sebagai sesuatu yang esensial dan mencerahkan. Tetapi mereka cenderung melihat aktivitas simbolik itu sebagai inti perayaan. Akibatnya, Maulid yang dikemas dalam 'baju lokal' itu kerap kehilangan makna (vakum dari kontemplasi, refleksi, dan upaya meneladani Nabi).

Jadi, persoalan pokok dan mendesak diatensi adalah bagaimana mempertegas garis-garis syari'at Islam dalam merayakannya. Perlu juga diperhatikan tentang bagaimana menyampaikan pesan-pesan simbolik itu sebagai sesuatu yang esensial.

Ikhtisar
- Peringatan Maulid Nabi masih mengundang pro dan kontra, karena Nabi sendiri tidak mau hari lahirnya diperingati.
- Pro dan kontra itu tidak perlu menjadi penghalang bagi umat Islam untuk menyegarkan kembali pesan-pesan kenabian saat peringatan Maulid Nabi datang.
- Pesan-pesan kenabian itu sangat penting untuk memperbaiki kondisi bangsa dan negara.
- Yang perlu dihindari adalah menjadikan Maulid Nabi, hanya sebagai seremoni yang bersifat simbolik.

( )

No comments:

Kamu adalah pengunjung ke: