Tuesday, March 27, 2007

Keserakahan AS dan Nuklir Iran

Oleh :

M Hamdan Basyar
Peneliti Utama pada Pusat Penelitian Politik LIPI, Dosen Pascasarjana Studi Timur Tengah dan Islam UI

Headline Republika, 26 Maret 2007, berjudul 'DK PBB Jatuhkan Sanksi untuk Iran'. Ada foto besar yang menggambarkan suasana saat pemungutan suara. Para perwakilan 15 anggota DK PBB, termasuk dari Indonesia, mengacungkan tangan yang memberi isyarat persetujuan mereka pada rancangan resolusi yang dibuat oleh Inggris, Perancis, dan Jerman itu. Resolusi dengan No 1747 itu menambah sanksi terhadap Iran, karena negara tersebut dianggap tidak mematuhi Resolusi No 1737 yang dikeluarkan 23 Desember 2006.

Resolusi No 1737 berisi kewajiban Iran untuk menghentikan upaya pengayaan uranium dalam rangka pengembangan nuklir. Dalam jangka waktu 60 hari sejak disahkan resolusi 1737 itu, Iran diharuskan menghentikan kegiatan pengembangan nuklirnya. Tetapi, Iran menolak penghentian upaya pengayaan uranium, dengan argumentasi bahwa upaya mereka untuk kepentingan damai. Sebagai negara penandatangan NPT Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), mereka merasa berhak mengembangkan nuklir untuk kepentingan damai.

Akan tetapi, mengapa Amerika Serikat (AS), Inggris, dan negara besar lainnya selalu menekan Iran untuk menghentikan upaya pengembangan nuklir dan bahkan memberi sanksi kepada Iran lewat resolusi DK PBB. Bila kita lebih jujur melihat masalah nuklir di Timur Tengah, maka semestinya pengembangan nuklir Israel juga harus dihentikan.

Nuklir Iran dan NPT
Sebenarnya Iran sudah lama mengembangkan nuklir untuk kepentingan sumber energi alternatif. Program mereka dimulai pada tahun 1950-an. Saat itu, Iran menandatangani perjanjian dengan Amerika Serikat (AS) untuk pengembangan program nuklir guna pembangunan power plant. Melalui program pengembangan nuklir Iran ini, AS akan diuntungkan sedikitnya 6 miliar dolar AS.

Proyek nuklir pertama kali ini (Bushehr project) dikembangkan dengan menggunakan teknologi dari Jerman. Proyek itu melakukan desalinasi air laut bagi pemenuhan kebutuhan air bersih untuk konsumsi harian dan irigasi di Provinsi Bushehr. Saat itu hampir 90 persen proyek tersebut selesai dan 60 persen instalasi telah terpasang.

Namun, pada tahun 1979 program itu terhenti akibat terjadinya revolusi Iran yang menggulingkan kekuasaan Shah Reza Pahlevi. Program itu kemudian tidak jelas, akibat adanya perang Irak-Iran yang mengakibatkan rusaknya power plant tersebut. Program pengembangan nuklir ini dilanjutkan pada tahun 1995 dengan bantuan Rusia. Saat itu, Iran telah mendapat tekanan dari AS untuk tidak melanjutkan program pengembangan nuklirnya.

Sampai tahun 2005, proyek Bushehr belum selesai, padahal kebutuhan Iran akan energi terutama untuk pemenuhan tenaga listrik semakin mendesak. Hal ini dikarenakan industri Iran yang meningkat pesat dan mulai. Masalah itu dapat teratasi bila power plant dapat bekerja. Bila rencana pengembangan energi nuklir itu berjalan dengan lancar, Iran berharap pada 2010 sudah menghasilkan 6.000 MW listrik.

Niat pengembangan nuklir Iran untuk kepentingan damai ditunjukkan dengan adanya penandatanganan Pemerintah Iran terhadap NPT pada 1968, yang kemudian diratifikasi oleh Parlemen Iran pada 1970. NPT sendiri mengakui ada tiga pilar dalam perjanjian itu. Pertama, yang diperbolehkan memiliki senjata nuklir hanya lima negara, yaitu: Prancis, Cina, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat. Kelima negara itu tidak diperkenankan mentransfer teknologi senjata nuklir ke negara lain. Mereka juga sepakat untuk tidak menggunakan senjata nuklir terhadap negara-negara non-senjata nuklir.

Kedua, NWS didorong untuk merencanakan pengurangan persediaan senjata nuklir mereka di bawah kontrol internasional. Ketiga, negara penandatangan NPT mempunyai hak menggunakan teknologi nuklir untuk kepentingan damai. Dengan berdasar pilar ketiga inilah tampaknya Iran ingin mengembangkan nuklir untuk memenuhi kebutuhan listrik mereka.

Sebenarnya di Asia ada beberapa negara yang sudah mengembangkan nuklir. Bahkan mereka sudah mengembangkan senjata nuklir, yaitu India, Pakistan, Israel, dan Korea Utara. India pertama kali melakukan percobaan senjata nuklirnya pada tahun 1974. Pakistan melakukan hal yang sama pada tahun 1998. Diperkirakan India mempunyai lebih dari 150 kepala nuklir. Pakistan mempunyai sekitar 60 kepala nuklir. Sedangkan Israel yang mengembangkan senjata nuklir di wilayah Dimona, Nagev, sejak tahun 1958, mempunyai simpanan senjata nuklir cukup banyak, 100-200 kepala nuklir.

Ketiga negara itu tidak menandatangani NPT. Mereka berargumentasi bahwa NPT hanya menciptakan kelompok kecil 'pemilik nuklir' dan kelompok besar 'bukan pemilik nuklir' dengan batasan adanya percobaan senjata nuklir sebelum tahun 1967. NPT tidak pernah menjelaskan alasan prinsip dari perbedaan itu yang berkaitan dengan bahaya senjata nuklir. Bila India, Pakistan, dan Israel tidak mau menandatangani NPT, maka Korea Utara pernah meratifikasi NPT pada 12 Desember 1985. Tetapi kemudian Korea Utara keluar dari NPT pada 10 Januari 2003. Sejak saat itu, Korea Utara melakukan pengembangan senjata nuklir secara terbuka.

Standar ganda AS
Menghadapi empat negara tersebut, AS mempunyai kebijakan yang berbeda. Israel dan Pakistan yang menjadi sekutu AS tidak diungkit-ungkit. Padahal dengan jelas kedua negara itu telah mengembangkan senjata nuklir. Terhadap India yang kurang bersahabat, AS melakukan penekanan sampai kemudian ada perjanjian kerja sama nuklir antara AS dan India pada Juli 2006. Sementara itu, Korea Utara mendapatkan tekanan dari AS dengan lebih keras, bahkan diancam akan mendapatkan sanksi dari DK PBB. Tetapi kemudian pada Februari 2007 Korea Utara mau melakukan 'kerja sama' dan 'kompromi' dengan AS. Sejak saat itu tekanan AS terhadap Korea Utara berkurang.

Tekanan lebih keras lagi dilakukan AS terhadap Iran. AS melakukan pendekatan terhadap pemegang veto DK PBB untuk memberikan sanksi terhadap Iran. Resolusi DK PBB No 1737 yang dikeluarkan pada 23 Desember 2006 adalah keberhasilan AS. Salah satu klausul dalam resolusi tersebut adalah keharusan Iran untuk menghentikan kegiatan pengayaan uranium dalam 60 hari setelah resolusi. Bila tidak, maka akan ada sanksi, tetapi tidak disebutkan sanksi militer. Berpedoman pada pilar ketiga NPT, maka Iran tidak mau menghentikan pengayaan itu. Akibat sikap Iran itu, maka AS bersama sekutunya semakin meningkatkan tekanan dan hasilnya adalah DK PBB mengeluarkan resolusi No 1747.

Berbagai resolusi itu hanya akan dijadikan 'pintu masuk' bagi AS untuk semakin menekan Iran dan kalau perlu untuk mengganti rezim di Iran yang dianggap tidak kooperatif. Bila itu yang terjadi, maka AS semakin berkuasa di Timur Tengah.

Apakah kekuasaan AS itu akan memberikan manfaat bagi warga di Timur Tengah? Standar ganda AS yang diterapkan di wilayah itu akan semakin membuka konflik. Israel yang dibiarkan membangun senjata nuklirnya, dapat mengancam keamanan negara tetangganya. Kalau mau adil, DK PBB semestinya mengeluarkan resolusi yang melarang pengembangan senjata nuklir oleh semua negara. Dengan demikian, ancaman keamanan dan kehancuran akibat senjata nuklir dapat dihindari.

Ikhtisar
- Jika Iran dilarang untuk mengembangkan nuklir, semestinya Israel juga dikenai larangan itu. Israel terbukti mengembangkan nuklir untuk kepentingan perang.
- Selain Iran dan Israel, negara lain di Asia selain lima pemilik nuklir yang tercantum dalam NPT yang juga mengembangkan nuklir adalah India, Pakistan, dan Korea Utara.
- Amerika Serikat (AS) lewat Dewan Keamanan PBB tidak mau mengusik pengembangan nuklir di Israel dan Pakistan karena kedua negara tersebut dianggap bisa kompromi dengan Barat.
- Resolusi pelarangan nuklir akan menjadi pintu masuk bagi AS untuk mengganti rezim di Iran yang dianggap tidak kooperatif.

No comments:

Kamu adalah pengunjung ke: