Sapto Waluyo
Kandidat Master di S Rajaratnam School of International Studies, Singapura, Direktur Kajian Sosial-Politik CIR
Pekan lalu (21/3), Fraksi PKS menerima tamu wali kota City of York, di negara bagian Pennsylvania, Amerika Serikat (AS). Wali Kota John S Brenner berdialog dengan Wali Kota Depok, Nur Mahmudi Ismail, mantan Presiden PK yang tercatat alumni Universitas Texas.
Di tengah diskusi hangat dan disesaki puluhan wartawan serta hadirin itu, tiba-tiba terbetik kabar anggota DPR dari Fraksi PKS, Tamsil Linrung dicekal saat mau terbang ke Kanada. Pimpinan PKS jadi serba salah, apakah mereka akan membatalkan diskusi itu, karena pihak AS konon mendesak Kedubes Kanada untuk membatalkan visa yang diberikan kepada Tamsil. Secara diplomatik, ini benar-benar kejadian yang mendiskreditkan Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Salah seorang warga negaranya yang tak pernah dinyatakan bersalah harus dibatalkan visanya, beberapa menit menjelang naik pesawat.
Tapi, Fraksi PKS cukup beradab. Mereka tetap melanjutkan dialog dan tidak mengusir Brenner, walau pertemuan sebenarnya dirancang dalam waktu yang mendadak, kurang dari sepekan. Di sini terlihat perbedaan sikap Indonesia dengan AS yang mengklaim sebagai sponsor kebebasan di seluruh dunia. Anehnya, ketika berita pencekalan itu meluas, Kedubes AS malah membantah telah memengaruhi Kedubes Kanada untuk membatalkan visa Tamsil. Lalu, siapa jujur dan siapa pendusta? Konfirmasi terbuka harus dilakukan Deplu atau Komisi I DPR kepada pihak Kedubes Kanada dan AS supaya tidak ada lagi warga Indonesia yang menjadi korban arogansi negara lain.
Tamsil telah melakukan konfirmasi langsung Kedubes Kanada, hari itu juga. Dari sana diperoleh tiga alasan yang aneh bin ajaib. Pertama, kata staf Kedubes Kanada, Tamsil pernah ditahan di Filipina atas informasi dari Kedubes AS. Kedua, Tamsil diduga anggota organisasi terlarang Jamaah Islamiyah (JI), berdasarkan berita internet. Dan, ketiga, karena Tamsil memimpin organisasi Kompak DDII yang mengorganisasi para teroris dalam konflik Poso.
Paranoia Bush
Kesombongan AS mengingatkan kita pada kesalahan fatal yang pernah dilakukannya terhadap Hidayat Nur Wahid, Ketua MPR RI yang pernah menjabat presiden PKS juga Ketua Yayasan LP2SI Haramain. Tiga tahun lalu, Dubes AS Ralph R Boyce harus minta maaf akibat salah informasi kepada DK Keamanan PBB yang mencantumkan Yayasan Haramain sebagai organisasi teroris internasional. Yayasan yang dipimpin Hidayat itu terbukti bukan cabang dari negara lain dan berkegiatan legal di bidang pelayanan pesantren dan pendidikan keislaman.
Arogansi lama berulang kembali, tapi Kedubes AS masih menyangkalnya, maka kita tunggu penjelasan Kedubes Kanada secara jujur. Pencekalan AS terhadap warga Indonesia, bukan sekali ini terjadi. Dua tahun lalu, sejumlah wartawan Indonesia dari harian Republika, Kompas, Sabili, Gontor, dan Saksi sempat dipersulit di Bandara San Francisco. Mereka diinterogasi pihak keamanan AS selama beberapa jam, sehingga harus ketinggalan pesawat menuju Washington DC. Padahal, mereka datang atas undangan Departemen Luar Negeri AS dalam rangka tukar informasi seputar hubungan kedua negara.
Kejadian yang sangat tidak menyenangkan itu ternyata dialami banyak warga negara lain, terutama dari kawasan Asia, Afrika dan Timur Tengah. Setelah serangan atas gedung WTC di New York tahun 2001, pemerintahan George W Bush memang mengidap paranoia dalam stadium tinggi. Pemberlakuan UU Patriot dan pembentukan departemen baru yang khusus mengurus Homeland Security telah mengorbankan kebebasan sipil warga AS sendiri, dan juga mencederai hak asasi warga negara lain.
John Mueller mengritik pedas kebijakan Bush yang kini menjalani sisa-sisa kekuasaannya dengan sikap keras kepala yang tak pernah berubah. Dalam Foreign Affairs (Oktober 2006), Mueller bertanya dengan kritis, is there still a terrorist threat? Dia kumpulkan bukti dari dalam negeri dan luar negeri AS, dan sampai pada kesimpulan, siapa sesungguhnya musuh AS? Tak jelas bak hantu di siang bolong. Usamah bin Ladin, menurut sutradara terkenal Michael Moore, tak lain merupakan kawan bisnis keluarga Bush sejak masa ayahnya menjadi presiden AS.
Karena memerlukan musuh yang setara, maka Bush melakukan glorifikasi terhadap Alqaidah dan Usamah yang dituduh menebarkan virus global jihad. Tak tanggung-tanggung, Bush menggelar drama spektakuler atas WTC yang disebut David Griffin sebagai the new Pearl Harbour (2004), yakni pemicu Perang Dunia II yang direkayasa oleh pemerintah AS sendiri.
Generalisasi salah kaprah
Di sinilah kita memahami --dan mengecam keras-- pencekalan terhadap Tamsil. Alasan yang dilontarkan Kedubes Kanada atas insinuasi kedubes AS sangat mengada-ada. Pertama, Tamsil memang pernah diperiksa petugas bandara Filipina bersama Agus Dwikarna dan Jamal Balfas (Maret 2002). Mereka dituduh membawa bahan peledak berbahaya (C4), padahal sebenarnya sedang melakukan perjalanan bisnis.
Seorang petugas bandara Filipina mengakui, bahan itu sengaja dimasukkan tas Agus atas mission order dari Jakarta. Tamsil dan Balfas kemudian dibebaskan karena tak bersalah. Sementara Agus masih ditahan hingga sekarang, akibat lemah diplomasi Indonesia menghadapi Filipina, yang notebene sekutu setia AS. Pemerintah Indonesia, waktu itu di bawah kendali Megawati, mestinya bersikap jantan.
Alasan kedua, konon Tamsil menjadi anggota JI yang dilarang PBB. Ini sungguh tidak jelas, karena sosok JI tak pernah bisa dibuktikan secara empirik dan juridis. Beberapa waktu lalu, dalam pertemuan subregional negara ASEAN dan Australia di Jakarta, Menlu Hassan Wirajuda menegaskan bahwa Indonesia tak bisa melarang JI, karena bukan organisasi formal.
Alasan ketiga, katanya Tamsil memimpin organisasi yang memobilisasi teroris di Poso. Dalam hal ini, Tamsil patut berbicara. Tapi, sejauh informasi lapangan yang diketahui publik, Kompak DDII adalah lembaga kemanusiaan yang jauh dari kekerasan. Mereka menerima dana dari banyak pihak (tak cuma Timur Tengah) dan menyalurkannya ke semua pihak yang memerlukan.
Sebagai perbandingan, dulu ada wartawan Amerika yang bertugas di Aceh, William Nessen. Dia ditangkap dan diadili karena diduga menjadi mata-mata (2003). Apakah bisa dikatakan semua wartawan AS bertugas ganda sebagai mata-mata?
Ironisnya, generalisasi yang salah kaprah itu kadang datang dari seorang intelektual dan pembela HAM semacam Sidney Jones yang melansir laporan International Crisis Group. Sidney berkesimpulan pengurus Kompak DDII cabang Solo, Aris Munandar, telah membentuk dan memimpin Laskar Jundullah yang melakukan teror di Poso. Tapi, sampai sekarang Aris tak bisa dikonfirmasi. Meski harus dicatat, sampai saat ini pula, Sidney tak pernah mengkaitkan Tamsil dengan organisasi teror manapun.
Dengan terbukanya pencekalan atas Tamsil, maka banyak perkara bisa dibongkar tuntas. Sikap diplomatik Kanada dan AS terhadap Indonesia seperti apa sejatinya?
Ikhtisar
- Arogansi Amerika Serikat (AS) yang berlangsung selama ini, tak lain disebabkan paranoia Presiden Bush.
- Tokoh yang dianggap pengancam AS, tak lain adalah tokoh yang diciptakan sendiri oleh AS agar bisa menjadi musuh yang setara bagi negara tersebut.
- Pemerintah AS yang memelihara ecurigaan berlebihan, tak hanya merugikan hak sipil warga setempat, tapi juga melanggar hak asasi warga negara lain.
- Pesan AS kepada Kedubes Kanada untuk mencekal fungsionaris PKS, Tamsil Linrung, bisa menjadi salah satu contohnya.
No comments:
Post a Comment